Kamis, 29 Oktober 2009

seekor ayam yang mengganti nyawa adikku (1)


Namanya Heru Asianto usianya kini 33 tahun, saya masih terpesona padanya dia adikku ketiga dari empat bersaudara. Meski bernama Heru namun sejak kecil kami memanggilnya Heri, kecuali teman sekolahnya yang memanggilnya Heru. Saya masih terpesona setiap kali mellihat adik ketigaku ini. Mungkin lebih tepatnya tidak percaya bahwa hingga usianya 33 tahun ini, dia masih hidup sehat dan berbadan subur.

Sebab jika kembali ke 10 tahun lalu, tepatnya 27 Juli 1999, dia nyaris merenggang nyawa diujung sebutir peluru yang menembus batok kepalanya, dan saya berada jauh di Jember, ketika peristiwa itu terjadi. Saya tidak melihatnya dalam kondisi sekarat. Tapi dari mama, saya jadi tahu setiap detail peristiwa mengenaskan itu.

Hari itu hujan sangat deras, Heri berlari melewati pintu gerbang sebelah barat pelabuhan besar -Pelabuhan Yos Sudarso- mama mengejar dari arah warungnya, meminta Heri kembali, entah Heri mendengar atau tidak Heri terus saja berlari, menembus Gang Fully dan terus menyemberang ke arah lorong Lipo Bank. Lalu tiba-tiba Heri berputar kencang 180 derajat lalu terjatuh di atas aspal.

Masih sadar Heri mencoba bangkit dan berbalik arah menuju Gang Fully, dia meraba kepalanya yang bersimbah darah, Heri masih terus berjalan, Faruk Attamimi, seorang temannya tinggal di Lorong Arab Gang Fully melihatnya dan menolong Heri yang nyaris ambruk, dalam ingatannya Faruk mengatakan, Heri sempat berbisik lemah,'' Ruk Beta dapa tembak ya ( Ruk, saya tertembak ya), '' lalu dia ambruk. Bersama seorang teman mengapit di belakang, faruk membonceng Heri melarikanya ke Rumah Sakit Al Fatah yang hanya berjarak sekitar 500 meter.

Seorang kawan Heri yang melihatnya dipapah masuk bersimbah darah, berbalik arah ke pelabuhan besar, menuju warung mama di dalam pelabuhan. Dia lalu mengabarkan Heri yang berada di rumah sakit. Mama, tersadar, saat ayam yang di peroleh dari seorang bocah pengungsi asal Kairatu yang sempat di tolong mama dan kemudian ayam tersebut di pelihara Heri hingga siap di potong. Tiba-tiba saja menghilang dari atas meja saat akan di potong mama.

Mama melompat seketika berlari sekncang-kencangnya ke arah kompleks Masjid Al Fatah di mana rumah sakit berada, pagar tembok setinggi 2 meter di lompatinya. Tiba di rumah sakit, mama menemukan Heri diantara sejumlah pasien lain dengan macam-macam kondisi, sebagian lain terluka bacok di hampir seluruh tubuhnya, yang lainnya terpotong tangan, tertembak di paha. Mama mendapati wajah dan kepala Heri sudah dibersihkan dari darah, namun dua lubang yang terbuka masih terus mengeluarkan darah.

Menyadari usia Heri yang baru 23 tahun kala itu, mama bergegas meminta dokter menjahit 2 lubang yang menganga di kepala Heri. Di bagian depan di ujung alis kanannya dan di batok kepala bagian belakang. Yang paling parah bagian belakang kepala lubang selebar 3 senti terbuka lebar. Saat akan di jahit dan perban di buka, cairan otak berwarna putih menyembur keluar, dengan doa mama berusaha memasukkan kembali otak ke dalam batok kepalanya. Dokter Rivai Ambon, hanya ternganga ketika mama memasukan otak Heri. Usai menjahit dokter merujuk Heri ke Rumah Rakit Tentara Latumeten

Tidak ada komentar: