Kamis, 29 Januari 2009


KONGRES 1 PEREMPUAN MALUKU :
SEBUAH JALAN MEREPARASI PEREMPUAN MALUKU ?

Banyak laki-laki berlarian di jalan, salah satu kawasan di Kota Ambon 27 Juli 2000, mereka mencegat siapa saja yang ditemui di jalan, dengan parang terhunus yang di ujungnya ada tetes darah. Seorang perempuan melintas ketakutan, dengan ancaman parang terhunus yang ada sisa tetes darahnya, satu pertanyaan yang tak bisa dijawab di akhiri dengan nyawa melayang di ujung parang yang ada sisa tetes darahnya. Mayat perempuan di lego begitu saja ke dalam got.

Saya menyaksikan itu, hampir 9 tahun lalu. Dalam ketakutan tentu saja. Di kiri kanan saya, anak dan perempuan mengalami nasib yang sama. Ada yang beruntung tidak sampai tewas, namun yang tersisa adalah trauma.

Seorang kawan saya di Aceh bercerita dalam perasaan traumatic yang juga masih tersisa, Saat DOM (Daerah Operasi Militer) berlangsung, dengan alasan ayah dan kakak lelakinya pengikut GAM, mereka di bunuh di depan mata, ibunya di perkosa di depan mata lalu di bunuh. Giliran dia yang di gilir tak habis-habisnya oleh banyak lelaki berpostur tegap. Dia menyimpannya hingga kini meski sempat sinting karenanya.

Kawan lain saya di Papua, jurnalis juga, bercerita, dalam satu suku, seorang lelaki yang memiliki banyak babi (symbol kemakmuran orang Papua), bisa menikahi banyak perempuan dan semua hidup dalam satu atap, menjadi pelayan bagi para lelaki. Perempuan adalah warga kelas dua yang tidak memiliki hak apa-apa. Mereka bahkan harus bekerja keras menghidupi diri sendiri meski punya suami.

Lalu perempuan di Aceh, merancang Kongres Perempuan Aceh. Mereka bersatu, berteriak menyampaikan kepenatannya, hasilnya perempuan Aceh bisa berbuat lebih jauh, mereka ada di banyak partai dan diberi peluang seluas-luasnya, mereka mereparasi diri sendiri dari trauma yang panjang.

Begitu juga di Papua, Kongres Perempuan Papua, menghasilkan rekomendasi yang luar biasa, seorang perempuan berhasil duduk sebagai wakil ketua persatuan gereja se Papua, yang selama ini sulit di duduki perempuan.

Lalu apa yang ingin dilakukan perempuan Maluku dalam kongresnya. Sebuah pertanyaan muncul di benak banyak perempuan Maluku. Saya mewawancarai sebagian diantaranya secara acak. Dari kalangan politisi mengungkap, ada keinginan untuk mencapai kata sepakat, perempuan harus berkomitmen bersama memenuhi kuota 30 persen dan perempuan harus memilih perempuan, dengan begitu posisi tawar perempuan di kancah politik bisa lebih diperhitungkan. Sebab jelas pemilih perempuan lebih banyak dari laki-laki.

Dari kalangan ibu rumah tangga, keinginannya sederhana, hak hidup yang lebih layak, pemenuhan kebutuhan keluarga, tentu saja diantaranya kesehatan dan pendidikan gratis lebih di intensifkan.

Di kalangan akademisi dan birokrasi, peluang yang sama seluasnya diberikan kepada perempuan untuk meningkatkan kesempatan mendapat fasilitas yang lebih baik, bisa menduduki posisi strategis, adalah satu upaya yang patut diperjuangkan.

Lalu mama sibu-sibu dan papale meminta, satu hal sederhana saja, dengan modal kecil dan jarak tempuh dari gunung dan pantai yang jauh menuju pasar di kota, mereka berharap mereka tidak di gusur saat berjualanan, di tarik retribusi dari yang seharusnya dan tentu saja bebas dari pemalakan preman pasar. Mereka berharap mereka bisa membawa pulang sedikit keuntungan dari hasil jualan seikat ganemo atau seekor ikan.

Lain halnya dengan bidang profesi, para perawat dan petugas kesehatan di rumah sakit- rumah sakit berharap honor mereka lebih memenuhi standart dan di bayar tepat waktu, para pembantu rumah tangga mengungkap sakitnya di hardik para majikan dan berharap bisa lebih dihargai dan dimanusiakan.

Sedangkan para perempuan korban konflik yang kehilangan rumah, sanak keluarga dan mengalami traumatic fisik dan mental selama konflik Maluku 1999, atau kini konflik partial yang terjadi antar kampong dan etnis, berharap, para lelaki lebih meredam egoismenya dan memberi ruang yang aman dan nyaman bagi anak-anak dan perempuan, agar bisa hidup normal dan bisa memiliki mimpi tentang harapan masa depan yang lebih baik. Bisa melahirkan dan membesarkan anak dalam lingkungan yang sehat yang jauh dari kekerasan dan dan ketidak pastian.

Banyak keluhan dan harapan, namun secara umum perempuan Maluku, berharap hak dan martabat mereka lebih ditinggikan, tidak dianiaya secara fisik maupun mental, di perlakukan selayaknya manusia, diberi kesempatan seluas-luasnya, tidak dilecehkan dan dihinakan.
Banyak program pemberdayaan perempuan yang disiapkan pemerintah pusat maupun daerah, namun sayangnya banyak pula program tersebut tidak menyentuh kepentingan dasar perempuan Maluku secara real.

Banyak pekerjaan rumah bagi perempuan Maluku menuju jalan panjang memulihkan diri atau mereparasi keadaan untuk lebih pro pada kepentingan perempuan.
Sebenarnya, diskusi tentang perbedaan gender pada saat membuat konsep, merancang atau mengimplementasi untuk mereparasi kondisi perempuan sulit terjadi sampai saat ini. Budaya patriarkhi yang secara tradisional menjadi bagian dari sejarah perempuan Maluku bahkan Indonesia, menjadi sebab utama sulitnya perempuan menjalani hak hidupnya secara layak dan normal.

Lalu bisakah perwakilan perempuan yang bicara dan berdiskusi di Konges I Perempuan Maluku yang akan di gelar 29-31 Januari ini, membahas tuntas dan melahirkan resolusi terbaik pemulihan kondisi perempuan Maluku ? atau hanya sebatas sebuah ‘’kegiatan’’ yang sekedar lewat saja. Lalu selesai sudah. Seharusnya moment berharga ini menjadi tonggak sejarah baru bagi perempuan Maluku, merancang kepentingannya untuk lebih di dengar dan diperhitungkan. Saya berharap demikian










Minggu, 18 Januari 2009

KILLING THE MESSENGER

KILLING THE MESSENGER’’


Sejak 10 tahun terakhir, kurang lebih 1400 jurnalis di seluruh dunia terbunuh saat melakukan peliputan, kematian datang tidak hanya pada jurnalis laki - laki namun juga perempuan..

Kebanyakan kematian datang saat meliput di medan perang atau bencana alam, sebagian lain tewas di negerinya sendiri karena meliput korupsi atau criminal. Bahkan ada yang di tangkap, di culik, di sekap dan dihilangkan karena meliput politik.

Kebanyakan jurnalis bahkan mengalami tekanan, ancaman, pelecehan dan siksaan sebelum akhirnya kematian menjemput..Bahkan bagi jurnalis perempuan, banyak situasi yang menyulitkan perempuan saat berada di garis depan. Resiko dipermalukan bahkan jauh lebih besar dari yang dibayangkan : diperkosa dan dibiarkan hidup. Membawa pengalaman buruk dan menyebabkan traumatic luar biasa –jelas itu salah satu resiko menjalani pekerjaan ini-.
Kondisi kerja demikian, membuat jurnalis menilai ini resiko pekerjaan. Namun sebenarnya jumlah kematian yang lebih banyak bisa dihindari jika banyak pihak memahami tugas dan tanggung jawab jurnalis untuk melaporkan pada public apa yang terjadi langsung dari tempat kejadian dan bukan sekedar berada di bilik ruang redaksi dan seuntai kabel telepon.

Bahaya atau resiko pekerjaan ini sebenarnya bisa di hindari jika semua pihak memberi kesempatan jurnalis bekerja dengan tenang, berpikir jernih saat melakukan step-step safety net dengan baik. Ini yang terungkap dalam diskusi ‘’Killing the Messenger’’ ( pembunuhan sang pembawa pesan), di Jakarta, oleh International News Safety Institute (INSI), 15 – 16 Desember 2008. INSI mengajak sekitar 150 jurnalis se Asia Pacific, terlibat dalam diskusi yang mencari solusi menghindari kematian bagi jurnalis dan membuat siapa pun menyadari, memahami, menghormati dan mensuport kerja jurnallistik.

Menjadi jurnalis adalah pilihan hidup. Sebagian lain mungkin karena kecemplung, alias kepalang basah, dan menikmati menjadi jurnalis. Tantangan meliput di area konflik adalah satu sisi yang membuat jurnalis tetap ingin melakukan pekerjaan ini, meski kondisinya seringkali menyulitkan.

Insting dan adrenalin yang terpacu saat melakukan liputan di medan perang atau undercover dalam sebuah investigasi seringkali menjadikan sang jurnalis tidak berpikir dua kali terhadap bahaya yang mengancam di sekitarnya.

Siapa yang akan bertanggungjawab terhadap bahaya yang di hadapi jurnalis di lapangan ? INSI mencatat setidaknya 1 dari 4 jurnalis tewas di medan perang, selebihnya tewas saat melakukan tugas peliputan di area damai karena meliput politik, korupsi atau kriminal di lingkungan rumahnya sendiri.

Di banyak negara, membunuh adalah cara paling mudah, murah dan paling efektif terhadap pemberitaan yang menyudutkan atau merugikan satu pihak. Dan banyak pembunuhnya lolos dari jeratan hukum. Ini adalah kenyataan yang sangat mengejutkan. Sepanjang tahun 2005 saja terdapat 147 jurnalis di seluruh dunia terbunuh sedangkan di tahun 2006 semakin buruk dengan terbunuhnya 167 jurnalis.

Di seluruh dunia tercatat 10 negara paling berdarah bagi jurnalis yakni Irak, Rusia, Kolombia, Philipina, Iran, India, Algeria, Yugoslavia, Mexico dan Pakistan. Kebanyakan jurnalis di daerah ini terbunuh karena bom, tusukan pisau, dipukuli, hingga di tembak. Belum lagi hilang begitu saja tanpa jejak. Atau jika lolos dari maut. Kebanyakan bahkan menjadi gila.

Yang lebih mengenaskan, banyak jurnalis yang terbunuh adalah jurnalis yang berada di lapangan dengan predikat hanya freelancer, koresponden atau contributor bahkan cuma seorang stringer ( jurnalis yang bekerja di bawah koreponden atau freelancer). Seringkali pula mereka yang terbunuh tidak bisa diidentifikasi bekerja di media mana atau pada siapa. Karena tidak memiliki identitas pers.

Lebih parah lagi, ketika menerima penugasan di lapangan, sang jurnalis tidak di bekali dengan prosedur standart keselamatan yang bisa menolongnya lolos dari maut. Perusahaan medianya bekerja seringkali lalai dalam memberikan training keselamatan dan bagaimana menolong pertama kali jika terjadi kecelakaan baik pada diri sendiri maupun orang lain.

Selamatnya reporter Mutia Hafid dan kameramen Budianto, adalah contoh adanya perusahaan media yang terlibat dalam penyelamatan keduanya di Irak, meski tentu dengan cara negosiasi antar Negara yang alot.

Standart operation procedur (SOP) yang benar pada keselamatan kerja jurnalis juga seringkali lalai dilakukan sendiri oleh jurnalis. Kasus tewasnya 2 jurnalis tv saat meliput Kapal Levina karena menolak memakai jaket pelampung dan keduanya tewas tenggelam adalah satu contoh. Atau terbunuhnya Ersa Siregar jurnalis RCTI saat berada pada posisi antara GAM dan TNI di Aceh. Jelas adalah contoh kasus yang mengingatkan kita bahwa safety self first then cover the news (selamatkan diri dulu daripada meliput berita).

Apakah sebuah berita jauh lebih berharga daripada sebuah nyawa ? Di banyak news room (ruang redaksi) di seluruh media di dunia, doktrin yang kerap terdengar adalah dapatkan gambar terbaik dari sebuah peristiwa. Dapatkan cerita terbaik dari sebuah peristiwa. Artinya jika ingin mendapat berita terbaik, terjun langsung, saksikan sendiri. Memang itulah jurnalis. Jika hanya ingin buat berita yang aman. Cukup duduk di dalam ruang redaksi dan gunakan kabel telepon sebagai penghubung dengan dunia luar.

Banyak yang terbunuh di medan perang international atau ketika di tugaskan di daerah bencana alam. Namun kebanyakan malah terbunuh di negeri sendiri karena korupsi, politik, atau kasus criminal. Mereka ini di bunuh karena pihak-pihak yang takut di ekspose oleh media karena aktifitas illegal mereka. Hal ini terjadi karena doktrin yang melekat di kepalanya. Berita lebih berharga daripada nyawanya sendiri.

Bodohnya si jurnalis seringkali tidak pernah berpikir, jika dia mati siapa yang akan menuliskan beritanya, dan apakah berita yang dianggapnya terbaik itu bisa sampai ke public pembacanya jika nyawanya sudah melayang?

Itu yang terjadi pada cameramen Lativi yang tewas ketika meliput kapal Lavina, dia mati karena tidak mau melepas kamera tv saat akan tenggelam….

Di manapun di dunia, demokrasi dan kebebasan masyarakat tidak akan tercipta tanpa adanya system fungsi media dimana jurnalisnya bisa bekerja dengan aman. Setiap Negara yang dibangun dari perang atau konflik social atau berjuang mendapatkan kehidupan yang layak mestinya mengharapkan media memberikan gambaran masa depan yang lebih baik. Memberikan harapan.

Menciptakan budaya keselamatan jurnalis menambah kapasitas media untuk memberikan kontribusi membangun demokrasi yang lebih baik adalah tugas semua pihak, jurnalis itu sendiri maupun masyarakat terutama perusahaan media tempatnya bekerja.
Namun tentu saja jurnalis ketika menulis berita memahami isu yang membahayakan dirinya sehingga tidak perlu harus menunjuk jari atau menuding kesalahan orang namun lebih pada mendidik dan menginformasikan.

Untuk melakukan itu semua butuh keberanian dari pemilik media dan individu jurnalis seperti, reporter, redaktur, produser, cameramen, photographer, dan support teamnya untuk mempersiapkan standart keamanan diri saat memberikan tugas jurnalistik. Hal ini agar memperkecil nilai bahaya dari sebuah peliputan.

Perusahaan media sudah saatnya, menyiapkan peralatan standart keselamatan kerja bagi jurnalisnya, jaket pelampung, kotak obat P3K, atau helm, misalnya merupakan alat yang biasa digunakan. Atau menyiapkan asuransi bagi jurnalis. Memang mahal dan sulit bagi media cetak local kecil dengan oplah hanya seribu perhari atau TV dan radio local yang kurang iklan. Namun itulah aturan bagi keselamatan jurnalis.

Tapi setidaknya dengan aturan melapor keberadaan jurnalis saat meliput di medan yang membahayakan, juga merupakan langkah aman, sehingga mudah di advokasi setiap kali sesuatu yang tidak diinginkan terjadi.

Untuk meminimalis bahaya bagi jurnalis, jurnalis harus didukung dan menyadari fungsinya sebagai penyampai informasi ke pada public, dengan tetap mengedepankan kode etik jurnalis. Netralitas adalah hal utama yang harus di jaga setiap kali meliput dan menulis berita. Selama ini yang menyebabkan jurnalis terbunuh atau di tangkap di medan perang internasional adalah kepentingan negara mereka, seperti banyaknya jurnalis CNN yang terbunuh atau di sandera di Irak atau Afganistan. Atau yang baru-baru saja terjadi ketika seorang jurnalis TV Irak melempari sepatunya ke arah Presiden Bush dan langsung ditangkap. Itu karena dia tidak bisa menahan diri sebaai jurnalis yang harusnya independen dan tidak terpengaruh dengan persoalan rasa nasionalisme atau religiusitasnya.

Seperti seorang jurnalis Yahudi yang pernah saya temui di Boston, Amerika, 2002 lalu, Christina Oppenheim, ‘’sebagai jurnalis kita sudah tidak lagi punya agama, bangsa atau orang tua, kita bekerja hanya untuk publik, dan hanya untuk publik’’. Begitu katanya, dan saya setuju.
Jakarta, 16 Desember 2008

Sabtu, 17 Januari 2009


DEFAMASI : JANGAN PENJARAKAN JURNALIS

Kampanye ‘’don’t jail journalists’’ ini sudah di lakukan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dan International Federation of Journalists yang berbasis di Sidney, Austarlia sejak Agustus 2004 lalu, bertepatan dengan kasus Tommy Winata vs Bambang Harymurti saat itu Pemimpin Redaksi Majalah Tempo. Kampanye ini merupakan perjalanan panjang memperjuangkan hak hukum jurnalis Indonesia untuk menggunakan Undang Undang Pers no 40 tahun 1999 dari pada menggunakan KUHP yang memperlakukan tindakan jurnalis sebagai tindak kriminal dari pada dianggap sebagai lex speacialis.

Seorang jurnalis seharusnya tidak dipenjarakan karena pekerjaannya. Namun, sudah lama begitu mudah seorang jurnalis di kirim ke penjara hanya karena menyampaikan fakta saat menulis berita. Sebelum era reformasi kita mencatat kasus Ahmad Taufik yang di penjara tahun 1995 selama tiga tahun karena dianggap menghina Soeharto, Presiden saat itu. Tahun 1997 dia mendapat Award dari Internationala Press Freedom CFJ namun tentu saja dia tidak bisa menerima karena berada di balik jeruji besi.

Di Maluku, hingga kini begitu banyak jurnalis di minta menjadi saksi karena sebuah pemberitaan. Padahal dengan menyodorkan karya jurnalistiknya sudah menjadi bukti jelas terhadap persoalan yang dihadapinya. Lalu apa lagi yang dituntut polisi dari jurnalis.

Dari waktu ke waktu, di negara-negara dunia ketiga, jurnalis mengalami ujian berat dengan mengirimkan jurnalis ke balik jeruji besi hanya karena menulis berita. Tindakan ini yang terus dilakukan pihak yang tidak bisa menerima dampak sebuah berita karena melakukan aktifitas ilegalnya

Padahal di Eropa, Amerika, Australia dan sejumlah negara lainnya, sengketa pers biasanya diselesaikan secara perdata dangan hanya membayar denda itupun dengan tidak sampai membangkrutkan media tersebut. Dan bukan menggunakan hukum pidana untuk mengkriminalkan tindakan jurnalis.

Istilah criminal defamation atau pencemaran nama baik yang dianggap tindak kriminal berhadapan dengan kebebasan pers. Tindakan ini merupakan cara efektif untuk membuat jurnalis bungkam dan berhenti menulis fakta. Jika di kirim ke penjara karena di pengadilan terbukti bersalah sang jurnalis akan kehilangan kebebasan, penghasilan dan kehilangan pekerjaan bahkan untuk mengembangkan karirnya akan sangat sulit. ini membuat keluarga sang jurnalis, anak dan istrinya juga ikut terkena dampaknya bahkan cap kriminal akan melekat pada dirinya.

Mengapa polisi ngotot memakai KUHP sebagai acuan memproses hukum jurnalis dibanding memakai Undang-Undang Pers. Karena polisi memperlakukan jurnalis secara umum. Menyamaratakan kasus umum dan khusus. Karena terdapat 37 pasal dalam KUHP yang bisa menjerat jurnalis karena pencemaran nama baik atau unsur penghinaan daripada menggunakan Undang Undang Pers. Belum lagi sejumlah undang-undang lainnya. Ancaman utama jelas adalah KUHP, UU Pornografi, UU KIP, UU Pemilu dan banyak lagi.

Setiap orang yang datang mengadukan jurnalis ke polisi, dianggap tindak pidana dan bukannya melakukan upaya penyelesaian dengan menggunakan mekanisme UU Pers, mungkin polisi bisa bertanya, apakah anda merasa dicemarkan nama baiknya, apakah anda ingin mengoreksi hal tersebut, apakah anda ingin dipulihkan nama baik itu, apakah anda perlu publik tahu apa yang ditulis itu tidak benar. Jawabannya sederhana tempuhlah mekanisme pers. Hak jawab dan hak koreksi bila tidak puas lakukan pengaduan ke Dewan Pers. Maka dengan segera hak anda terjawab dan Pers bisa melakukan tugasnya tanpa tekanan. Namun yang terjadi sebaliknya. Padahal UU Pers no 40/1999, secara jelas mengatur mekanisme langkah hukum yang harus di tempuh pihak-pihak yang bermasalah terkait sengketa pers. Ada hak jawab, hak koreksi dan pengaduan ke Dewan Pers sebagai upaya menyelesaikan persoalan pers.

Junalis tidak ingin di perlakukan istimewa. Jurnalis juga warga negara sama seperti semua warga negara lainnya yang harus taat hukum. Namun sebagai pekerja profesional, jurnalis memiliki aturan hukum khusus yang sudah di undangkan oleh negara. Mengapa UU tersebut tidak digunakan, istilah seorang polisi menyebutkan karena tidak ada yang mengawaki UU tersebut, maka UU itu hanya akan jadi penghias meja. Siapa yang harus mengawaki UU Pers kalau bukan institusi penegak hukum di negara ini. Siapa institusi penegak hukum kalau bukan polisi, jaksa dan hakim.

KUHP bisa dipakai jika unsur pidana secara umum dilakukan oleh jurnalis semisal, memeras, membuat berita rekayasa, tidak mengindahkan kode etik dengan menyebarkan gambar porno atau menghina agama tertentu. Jelas itu tindak pidana.

Namun berita yang dilakukan dengan investigasi panjang, mengungkap kasus korupsi, dugaan tindakan ilegal, tidak sesuai aturan yang berlaku,merugikan negara dan membuat pihak-pihak yang diberitakan kebakaran jenggot karena akitifats ilegalnya, lalu sang jurnalis dianggap melakukan pencemaran nama baik, penghinaan atau memfitnah lalu dikirim ke penjara. Ini yang harus dilawan. Tindakan arogansi orang perorang yang diberitakan dan menganggap dirinya dicemarkan ini jelas melanggar kebebasan pers, melanggar spirit demokrasi.

Seharusnya semua pihak yang merasa dirugikan, lebih mengacu pada mekanisme penyelesaian sengketa pers dengan menggunakan UU Pers dengan meminta hak jawab dan atau hak koreksi kepada media yang bersangkutan untuk meluruskan berita yang dianggap mencemarkannya itu. Dan Media wajib melaksanakan tuntutan hak jawab/hak koreksi tersebut. UU Pers juga memperlakukan jurnalis yang terlibat sengketa pers bisa menggunakan hak tolak saat berhadapan dengan penegak hukum. Jurnalis bisa bilang tidak saat diminta menjadi saksi.

Mengapa jurnalis ngotot ingin tindakan hukum yang berlaku padanya adalah mekanisme UU Pers, jawabannya sederhana jurnalis bekerja untuk kepentingan publik bukan untuk dirinya pribadi, karya jurnalistiknya jelas dipertanggungjawabkan kepada publik bukan terhadap dirinya pribadi. Dan untuk menjalankan tugas dan tanggung jawabnya terhadap publik dengan baik, jurnalis harus di lindungi. Seharusnya jurnalis di berada pada alam kebebasan saat mengungkap fakta dengan begitu sebuah kesalahan bisa diketahui dan diperbaiki. Namun orang atau institusi yang senang memelihara kesalahan atau kekeliruan dan masih menggunakan paradigma lamalah selalu menekan jurnalis. Lalu kebebasan pers hanya menguap diri udara begitu saja.

Seharusnya UU Pers benar-benar di efektifkan sebagai lex spesialis, maka kekebasan pers bisa lebih terwujud, semua orang secara sadar dan cerdas menganggap pers bagian dari kehidupannya dan bersama-sama secara intelektual memperlakukan pers dengan lebih baik. Maka demokratisasi akan mudah terwujud.

Namun lepas dari kengototan Polisi atau Pers memperlakukan KUHP dan UU Pers. Masing-masing harus lebih mengoreksi. Ada jurnalis amplop ada juga polisi, jaksa, hakim amplop, ada jurnalis tidak profesional dan melanggar kode etik ada juga penegak hukum yang tidak profesional dan melanggar kode etik. Bagaimana memperbaikinya mulai dari diri sendiri. Sekarang saat ini juga.