Sabtu, 17 Januari 2009


DEFAMASI : JANGAN PENJARAKAN JURNALIS

Kampanye ‘’don’t jail journalists’’ ini sudah di lakukan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dan International Federation of Journalists yang berbasis di Sidney, Austarlia sejak Agustus 2004 lalu, bertepatan dengan kasus Tommy Winata vs Bambang Harymurti saat itu Pemimpin Redaksi Majalah Tempo. Kampanye ini merupakan perjalanan panjang memperjuangkan hak hukum jurnalis Indonesia untuk menggunakan Undang Undang Pers no 40 tahun 1999 dari pada menggunakan KUHP yang memperlakukan tindakan jurnalis sebagai tindak kriminal dari pada dianggap sebagai lex speacialis.

Seorang jurnalis seharusnya tidak dipenjarakan karena pekerjaannya. Namun, sudah lama begitu mudah seorang jurnalis di kirim ke penjara hanya karena menyampaikan fakta saat menulis berita. Sebelum era reformasi kita mencatat kasus Ahmad Taufik yang di penjara tahun 1995 selama tiga tahun karena dianggap menghina Soeharto, Presiden saat itu. Tahun 1997 dia mendapat Award dari Internationala Press Freedom CFJ namun tentu saja dia tidak bisa menerima karena berada di balik jeruji besi.

Di Maluku, hingga kini begitu banyak jurnalis di minta menjadi saksi karena sebuah pemberitaan. Padahal dengan menyodorkan karya jurnalistiknya sudah menjadi bukti jelas terhadap persoalan yang dihadapinya. Lalu apa lagi yang dituntut polisi dari jurnalis.

Dari waktu ke waktu, di negara-negara dunia ketiga, jurnalis mengalami ujian berat dengan mengirimkan jurnalis ke balik jeruji besi hanya karena menulis berita. Tindakan ini yang terus dilakukan pihak yang tidak bisa menerima dampak sebuah berita karena melakukan aktifitas ilegalnya

Padahal di Eropa, Amerika, Australia dan sejumlah negara lainnya, sengketa pers biasanya diselesaikan secara perdata dangan hanya membayar denda itupun dengan tidak sampai membangkrutkan media tersebut. Dan bukan menggunakan hukum pidana untuk mengkriminalkan tindakan jurnalis.

Istilah criminal defamation atau pencemaran nama baik yang dianggap tindak kriminal berhadapan dengan kebebasan pers. Tindakan ini merupakan cara efektif untuk membuat jurnalis bungkam dan berhenti menulis fakta. Jika di kirim ke penjara karena di pengadilan terbukti bersalah sang jurnalis akan kehilangan kebebasan, penghasilan dan kehilangan pekerjaan bahkan untuk mengembangkan karirnya akan sangat sulit. ini membuat keluarga sang jurnalis, anak dan istrinya juga ikut terkena dampaknya bahkan cap kriminal akan melekat pada dirinya.

Mengapa polisi ngotot memakai KUHP sebagai acuan memproses hukum jurnalis dibanding memakai Undang-Undang Pers. Karena polisi memperlakukan jurnalis secara umum. Menyamaratakan kasus umum dan khusus. Karena terdapat 37 pasal dalam KUHP yang bisa menjerat jurnalis karena pencemaran nama baik atau unsur penghinaan daripada menggunakan Undang Undang Pers. Belum lagi sejumlah undang-undang lainnya. Ancaman utama jelas adalah KUHP, UU Pornografi, UU KIP, UU Pemilu dan banyak lagi.

Setiap orang yang datang mengadukan jurnalis ke polisi, dianggap tindak pidana dan bukannya melakukan upaya penyelesaian dengan menggunakan mekanisme UU Pers, mungkin polisi bisa bertanya, apakah anda merasa dicemarkan nama baiknya, apakah anda ingin mengoreksi hal tersebut, apakah anda ingin dipulihkan nama baik itu, apakah anda perlu publik tahu apa yang ditulis itu tidak benar. Jawabannya sederhana tempuhlah mekanisme pers. Hak jawab dan hak koreksi bila tidak puas lakukan pengaduan ke Dewan Pers. Maka dengan segera hak anda terjawab dan Pers bisa melakukan tugasnya tanpa tekanan. Namun yang terjadi sebaliknya. Padahal UU Pers no 40/1999, secara jelas mengatur mekanisme langkah hukum yang harus di tempuh pihak-pihak yang bermasalah terkait sengketa pers. Ada hak jawab, hak koreksi dan pengaduan ke Dewan Pers sebagai upaya menyelesaikan persoalan pers.

Junalis tidak ingin di perlakukan istimewa. Jurnalis juga warga negara sama seperti semua warga negara lainnya yang harus taat hukum. Namun sebagai pekerja profesional, jurnalis memiliki aturan hukum khusus yang sudah di undangkan oleh negara. Mengapa UU tersebut tidak digunakan, istilah seorang polisi menyebutkan karena tidak ada yang mengawaki UU tersebut, maka UU itu hanya akan jadi penghias meja. Siapa yang harus mengawaki UU Pers kalau bukan institusi penegak hukum di negara ini. Siapa institusi penegak hukum kalau bukan polisi, jaksa dan hakim.

KUHP bisa dipakai jika unsur pidana secara umum dilakukan oleh jurnalis semisal, memeras, membuat berita rekayasa, tidak mengindahkan kode etik dengan menyebarkan gambar porno atau menghina agama tertentu. Jelas itu tindak pidana.

Namun berita yang dilakukan dengan investigasi panjang, mengungkap kasus korupsi, dugaan tindakan ilegal, tidak sesuai aturan yang berlaku,merugikan negara dan membuat pihak-pihak yang diberitakan kebakaran jenggot karena akitifats ilegalnya, lalu sang jurnalis dianggap melakukan pencemaran nama baik, penghinaan atau memfitnah lalu dikirim ke penjara. Ini yang harus dilawan. Tindakan arogansi orang perorang yang diberitakan dan menganggap dirinya dicemarkan ini jelas melanggar kebebasan pers, melanggar spirit demokrasi.

Seharusnya semua pihak yang merasa dirugikan, lebih mengacu pada mekanisme penyelesaian sengketa pers dengan menggunakan UU Pers dengan meminta hak jawab dan atau hak koreksi kepada media yang bersangkutan untuk meluruskan berita yang dianggap mencemarkannya itu. Dan Media wajib melaksanakan tuntutan hak jawab/hak koreksi tersebut. UU Pers juga memperlakukan jurnalis yang terlibat sengketa pers bisa menggunakan hak tolak saat berhadapan dengan penegak hukum. Jurnalis bisa bilang tidak saat diminta menjadi saksi.

Mengapa jurnalis ngotot ingin tindakan hukum yang berlaku padanya adalah mekanisme UU Pers, jawabannya sederhana jurnalis bekerja untuk kepentingan publik bukan untuk dirinya pribadi, karya jurnalistiknya jelas dipertanggungjawabkan kepada publik bukan terhadap dirinya pribadi. Dan untuk menjalankan tugas dan tanggung jawabnya terhadap publik dengan baik, jurnalis harus di lindungi. Seharusnya jurnalis di berada pada alam kebebasan saat mengungkap fakta dengan begitu sebuah kesalahan bisa diketahui dan diperbaiki. Namun orang atau institusi yang senang memelihara kesalahan atau kekeliruan dan masih menggunakan paradigma lamalah selalu menekan jurnalis. Lalu kebebasan pers hanya menguap diri udara begitu saja.

Seharusnya UU Pers benar-benar di efektifkan sebagai lex spesialis, maka kekebasan pers bisa lebih terwujud, semua orang secara sadar dan cerdas menganggap pers bagian dari kehidupannya dan bersama-sama secara intelektual memperlakukan pers dengan lebih baik. Maka demokratisasi akan mudah terwujud.

Namun lepas dari kengototan Polisi atau Pers memperlakukan KUHP dan UU Pers. Masing-masing harus lebih mengoreksi. Ada jurnalis amplop ada juga polisi, jaksa, hakim amplop, ada jurnalis tidak profesional dan melanggar kode etik ada juga penegak hukum yang tidak profesional dan melanggar kode etik. Bagaimana memperbaikinya mulai dari diri sendiri. Sekarang saat ini juga.

Tidak ada komentar: