Minggu, 18 Januari 2009

KILLING THE MESSENGER

KILLING THE MESSENGER’’


Sejak 10 tahun terakhir, kurang lebih 1400 jurnalis di seluruh dunia terbunuh saat melakukan peliputan, kematian datang tidak hanya pada jurnalis laki - laki namun juga perempuan..

Kebanyakan kematian datang saat meliput di medan perang atau bencana alam, sebagian lain tewas di negerinya sendiri karena meliput korupsi atau criminal. Bahkan ada yang di tangkap, di culik, di sekap dan dihilangkan karena meliput politik.

Kebanyakan jurnalis bahkan mengalami tekanan, ancaman, pelecehan dan siksaan sebelum akhirnya kematian menjemput..Bahkan bagi jurnalis perempuan, banyak situasi yang menyulitkan perempuan saat berada di garis depan. Resiko dipermalukan bahkan jauh lebih besar dari yang dibayangkan : diperkosa dan dibiarkan hidup. Membawa pengalaman buruk dan menyebabkan traumatic luar biasa –jelas itu salah satu resiko menjalani pekerjaan ini-.
Kondisi kerja demikian, membuat jurnalis menilai ini resiko pekerjaan. Namun sebenarnya jumlah kematian yang lebih banyak bisa dihindari jika banyak pihak memahami tugas dan tanggung jawab jurnalis untuk melaporkan pada public apa yang terjadi langsung dari tempat kejadian dan bukan sekedar berada di bilik ruang redaksi dan seuntai kabel telepon.

Bahaya atau resiko pekerjaan ini sebenarnya bisa di hindari jika semua pihak memberi kesempatan jurnalis bekerja dengan tenang, berpikir jernih saat melakukan step-step safety net dengan baik. Ini yang terungkap dalam diskusi ‘’Killing the Messenger’’ ( pembunuhan sang pembawa pesan), di Jakarta, oleh International News Safety Institute (INSI), 15 – 16 Desember 2008. INSI mengajak sekitar 150 jurnalis se Asia Pacific, terlibat dalam diskusi yang mencari solusi menghindari kematian bagi jurnalis dan membuat siapa pun menyadari, memahami, menghormati dan mensuport kerja jurnallistik.

Menjadi jurnalis adalah pilihan hidup. Sebagian lain mungkin karena kecemplung, alias kepalang basah, dan menikmati menjadi jurnalis. Tantangan meliput di area konflik adalah satu sisi yang membuat jurnalis tetap ingin melakukan pekerjaan ini, meski kondisinya seringkali menyulitkan.

Insting dan adrenalin yang terpacu saat melakukan liputan di medan perang atau undercover dalam sebuah investigasi seringkali menjadikan sang jurnalis tidak berpikir dua kali terhadap bahaya yang mengancam di sekitarnya.

Siapa yang akan bertanggungjawab terhadap bahaya yang di hadapi jurnalis di lapangan ? INSI mencatat setidaknya 1 dari 4 jurnalis tewas di medan perang, selebihnya tewas saat melakukan tugas peliputan di area damai karena meliput politik, korupsi atau kriminal di lingkungan rumahnya sendiri.

Di banyak negara, membunuh adalah cara paling mudah, murah dan paling efektif terhadap pemberitaan yang menyudutkan atau merugikan satu pihak. Dan banyak pembunuhnya lolos dari jeratan hukum. Ini adalah kenyataan yang sangat mengejutkan. Sepanjang tahun 2005 saja terdapat 147 jurnalis di seluruh dunia terbunuh sedangkan di tahun 2006 semakin buruk dengan terbunuhnya 167 jurnalis.

Di seluruh dunia tercatat 10 negara paling berdarah bagi jurnalis yakni Irak, Rusia, Kolombia, Philipina, Iran, India, Algeria, Yugoslavia, Mexico dan Pakistan. Kebanyakan jurnalis di daerah ini terbunuh karena bom, tusukan pisau, dipukuli, hingga di tembak. Belum lagi hilang begitu saja tanpa jejak. Atau jika lolos dari maut. Kebanyakan bahkan menjadi gila.

Yang lebih mengenaskan, banyak jurnalis yang terbunuh adalah jurnalis yang berada di lapangan dengan predikat hanya freelancer, koresponden atau contributor bahkan cuma seorang stringer ( jurnalis yang bekerja di bawah koreponden atau freelancer). Seringkali pula mereka yang terbunuh tidak bisa diidentifikasi bekerja di media mana atau pada siapa. Karena tidak memiliki identitas pers.

Lebih parah lagi, ketika menerima penugasan di lapangan, sang jurnalis tidak di bekali dengan prosedur standart keselamatan yang bisa menolongnya lolos dari maut. Perusahaan medianya bekerja seringkali lalai dalam memberikan training keselamatan dan bagaimana menolong pertama kali jika terjadi kecelakaan baik pada diri sendiri maupun orang lain.

Selamatnya reporter Mutia Hafid dan kameramen Budianto, adalah contoh adanya perusahaan media yang terlibat dalam penyelamatan keduanya di Irak, meski tentu dengan cara negosiasi antar Negara yang alot.

Standart operation procedur (SOP) yang benar pada keselamatan kerja jurnalis juga seringkali lalai dilakukan sendiri oleh jurnalis. Kasus tewasnya 2 jurnalis tv saat meliput Kapal Levina karena menolak memakai jaket pelampung dan keduanya tewas tenggelam adalah satu contoh. Atau terbunuhnya Ersa Siregar jurnalis RCTI saat berada pada posisi antara GAM dan TNI di Aceh. Jelas adalah contoh kasus yang mengingatkan kita bahwa safety self first then cover the news (selamatkan diri dulu daripada meliput berita).

Apakah sebuah berita jauh lebih berharga daripada sebuah nyawa ? Di banyak news room (ruang redaksi) di seluruh media di dunia, doktrin yang kerap terdengar adalah dapatkan gambar terbaik dari sebuah peristiwa. Dapatkan cerita terbaik dari sebuah peristiwa. Artinya jika ingin mendapat berita terbaik, terjun langsung, saksikan sendiri. Memang itulah jurnalis. Jika hanya ingin buat berita yang aman. Cukup duduk di dalam ruang redaksi dan gunakan kabel telepon sebagai penghubung dengan dunia luar.

Banyak yang terbunuh di medan perang international atau ketika di tugaskan di daerah bencana alam. Namun kebanyakan malah terbunuh di negeri sendiri karena korupsi, politik, atau kasus criminal. Mereka ini di bunuh karena pihak-pihak yang takut di ekspose oleh media karena aktifitas illegal mereka. Hal ini terjadi karena doktrin yang melekat di kepalanya. Berita lebih berharga daripada nyawanya sendiri.

Bodohnya si jurnalis seringkali tidak pernah berpikir, jika dia mati siapa yang akan menuliskan beritanya, dan apakah berita yang dianggapnya terbaik itu bisa sampai ke public pembacanya jika nyawanya sudah melayang?

Itu yang terjadi pada cameramen Lativi yang tewas ketika meliput kapal Lavina, dia mati karena tidak mau melepas kamera tv saat akan tenggelam….

Di manapun di dunia, demokrasi dan kebebasan masyarakat tidak akan tercipta tanpa adanya system fungsi media dimana jurnalisnya bisa bekerja dengan aman. Setiap Negara yang dibangun dari perang atau konflik social atau berjuang mendapatkan kehidupan yang layak mestinya mengharapkan media memberikan gambaran masa depan yang lebih baik. Memberikan harapan.

Menciptakan budaya keselamatan jurnalis menambah kapasitas media untuk memberikan kontribusi membangun demokrasi yang lebih baik adalah tugas semua pihak, jurnalis itu sendiri maupun masyarakat terutama perusahaan media tempatnya bekerja.
Namun tentu saja jurnalis ketika menulis berita memahami isu yang membahayakan dirinya sehingga tidak perlu harus menunjuk jari atau menuding kesalahan orang namun lebih pada mendidik dan menginformasikan.

Untuk melakukan itu semua butuh keberanian dari pemilik media dan individu jurnalis seperti, reporter, redaktur, produser, cameramen, photographer, dan support teamnya untuk mempersiapkan standart keamanan diri saat memberikan tugas jurnalistik. Hal ini agar memperkecil nilai bahaya dari sebuah peliputan.

Perusahaan media sudah saatnya, menyiapkan peralatan standart keselamatan kerja bagi jurnalisnya, jaket pelampung, kotak obat P3K, atau helm, misalnya merupakan alat yang biasa digunakan. Atau menyiapkan asuransi bagi jurnalis. Memang mahal dan sulit bagi media cetak local kecil dengan oplah hanya seribu perhari atau TV dan radio local yang kurang iklan. Namun itulah aturan bagi keselamatan jurnalis.

Tapi setidaknya dengan aturan melapor keberadaan jurnalis saat meliput di medan yang membahayakan, juga merupakan langkah aman, sehingga mudah di advokasi setiap kali sesuatu yang tidak diinginkan terjadi.

Untuk meminimalis bahaya bagi jurnalis, jurnalis harus didukung dan menyadari fungsinya sebagai penyampai informasi ke pada public, dengan tetap mengedepankan kode etik jurnalis. Netralitas adalah hal utama yang harus di jaga setiap kali meliput dan menulis berita. Selama ini yang menyebabkan jurnalis terbunuh atau di tangkap di medan perang internasional adalah kepentingan negara mereka, seperti banyaknya jurnalis CNN yang terbunuh atau di sandera di Irak atau Afganistan. Atau yang baru-baru saja terjadi ketika seorang jurnalis TV Irak melempari sepatunya ke arah Presiden Bush dan langsung ditangkap. Itu karena dia tidak bisa menahan diri sebaai jurnalis yang harusnya independen dan tidak terpengaruh dengan persoalan rasa nasionalisme atau religiusitasnya.

Seperti seorang jurnalis Yahudi yang pernah saya temui di Boston, Amerika, 2002 lalu, Christina Oppenheim, ‘’sebagai jurnalis kita sudah tidak lagi punya agama, bangsa atau orang tua, kita bekerja hanya untuk publik, dan hanya untuk publik’’. Begitu katanya, dan saya setuju.
Jakarta, 16 Desember 2008

Tidak ada komentar: